Total Tayangan Halaman

Label

Selasa, 16 Oktober 2012

PEMISAHAN / PEMBAGIAN KEKUASAAN



PEMISAHAN /PEMBAGIAN KEKUASAAN 

   Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power).

 Montesquieu adalah hakim Perancis yang melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahankekuasaan saat ia melihat praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa materi muatan hampir setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris, walaupun Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis.

Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu:
1). Kekuasaan perundang-undangan
2). Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan
3). Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok.


John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang.

Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undang-undang.
Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara.
Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang menyatakan dalam suatu negara ada 4 (empat) macam kekuasaan yaitu:

1). Pemerintahan (Bestuur),
2).Perundang-undangan,
3).Kepolisian dan,
4).Pengadilan

Van Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu:
1).Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika diperlukan dengan tindakan memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan
2).Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa.
Apabila dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan menuntut perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan kepolisian dan pengadilan di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan kejaksaan terpisah dari kekuasaan kepolisian dan pengadilan.


KLASIFIKASI KONSTITUSI
A. Klasifikasi Konstitusi
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi. Apabila dibandingkan anata satunegara dengan negara lain akan nampak perbedaan dan persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.

Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and unwritten constitution);
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution)
d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)

Ad.a. (Telah cukup jelas).
Ad.b. 1) Konstitusi fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
a. Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah
b. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang 

2) Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
a. Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang;
b. Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa

Ad.c. Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama. Ad.d.
Konstitusi Serikat dan Kesatuan
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.

Ad.e. Konstitusi pemerintahan presidensial dan parlementer.
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
- Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan
- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
- Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum

Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.

Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar