PEMISAHAN
/PEMBAGIAN KEKUASAAN
Hampir
dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan
suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat
aturan/undang undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang
(eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Gagasan atau ide dari Montesquieu
mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan
kekuasaan yang lain (Separation Of Power).
Montesquieu adalah hakim Perancis yang
melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahankekuasaan saat ia melihat
praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa materi muatan hampir
setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris, walaupun
Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis.
Pada
abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela
gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu:
1). Kekuasaan
perundang-undangan
2).
Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang
mencakup pemerintahan dan peradilan, dan
3).
Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara
atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power”
sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok.
John
Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan
nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua
kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan
dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan
dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan
hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan
sebagai “pelaksanaan” undang-undang.
Mengenai
urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga
dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu
peraturan/undang-undang.
Pada
sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”,
artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang
disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara.
Berbeda
pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang
menyatakan dalam suatu negara ada 4 (empat) macam kekuasaan yaitu:
1).
Pemerintahan (Bestuur),
2).Perundang-undangan,
3).Kepolisian
dan,
4).Pengadilan
Van
Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu:
1).Kepolisian
sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika diperlukan dengan tindakan
memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan
2).Pemerintahan
yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa.
Apabila
dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan
menuntut perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan
kepolisian dan pengadilan di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan
kejaksaan terpisah dari kekuasaan kepolisian dan pengadilan.
KLASIFIKASI
KONSTITUSI
A.
Klasifikasi Konstitusi
Sebagaimana
telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi.
Apabila dibandingkan anata satunegara dengan negara lain akan nampak perbedaan
dan persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi
yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara
lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.
Dalam
buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi
sebagai berikut:
a.
Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written
constitution and unwritten constitution);
b.
Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
c.
Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme
and not supreme constitution)
d.
Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary
Constitution)
e.
Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President
Executive and Parliamentary Executive Constitution)
Ad.a. (Telah cukup jelas).
Ad.b. 1) Konstitusi
fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
a.
Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah
b.
Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang
2) Konstitusi rigid
mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
a.
Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang;
b.
Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa
Ad.c.
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara
(tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi
adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama. Ad.d.
Konstitusi
Serikat dan Kesatuan
Bentuk negara akan sangat
menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat
terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan
negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian
kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena
pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
Ad.e.
Konstitusi pemerintahan presidensial dan parlementer.
Dalam
sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
- Presiden
memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki
kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan
- Presiden
dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
- Presiden
tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan
pemilihan umum
Konstitusi
dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :
- Kabinet
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang
menguasai parlemen
- Anggota
kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen
- Presiden
dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakan pemilihan umum.
Konstitusi
dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem
pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke
dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri
konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi
pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar