1. Prinsip Umum
Pembuatan & Perubahan
Konstitusi :
A. Komisi
Ahli
B. Parlemen
Biasa
2. Prosedur
Pembuatan dan Perubahan di Indonesia
— A.
PEMBUATAN & PERUBAHAN KONSTITUSI
— Francois
Venter (1999) mengatakan ‘konstitusi’ itu sifatnya dinamis. John P. Wheeler Jr.
(1961) berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan. Romano
Prodi (Anthony Browne, 2004) mengatakan; Konstitusi yg tak bisa diubah adalah
konstitusi yg lemah, karena ia tdk bisa beradaptasi dg realitas. Pada hal
sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yg terus berubah.
Bahkan Brannon P. Denning (Friedrich,1950) menyatakan, sebuah mekanisme
amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi yang akan
datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-2 mereka untuk
memerintah. Sehingga pada bagian lain Francois
Venter (1999)
mengatakan:”….Konstitusi yg ‘final’itu tdk ada, karena konstitusi nasional itu
sama hidupnya dg negara, terdiri dr begitu banyak manusia yg berpikir, yg
untuknyalah konstitusi itu ada. Ide bahwa konstitusi tdk bisa diganggu-gugat
tdk mungkin konsisten dg dalil-2 negara konstitusional modern”.
James L. Sundsquist (1986)mengatakan; bahwa setelah konstitusi Amerika diberlakukan, James Madison menyatakan, “penulis bukanlah salah satu di antara orang-2 (kalau memang ada) yg berpikir bahwa Konstitusi yg baru saja diberlakukan adalah sebuah karya tanpa cacat”.
— Dua
puluh delapan tahun kemudian Gubernur Moris menurut Edward McWhinney (l981)
mengatakan:”…… segala yg manusiawi tak mungkin bisa sempurna. Dike pung oleh
kesulitan-2, kami sudah lakukan yg terbaik yg kami bisa; (lalu kami) serahkan
semuanya kepada penerus-2 kami untuk belajar dari pengalaman, & dgn cara yg
bijaksana menggunakan kekuasaan untuk melakukan amandemen, yg sudah kami
berikan”.
- Edward McWhinney (1981) juga mengatakan; tugas & tanggungjawab utama elite politik dalam sebuah pemerintahan yg konstitusional adalah mengantisipasi, mengoreksi, & mengubah substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yg sama kearah proses demokrasi”.
— Carl
J. Friedrich (1950): dalam konstitusi modern yg baik, aturan-2 untuk melakukan
amandemen merupa kan satu bagian yg vital.
— Edward
McWhinney (1981) : setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat
inheren untuk selalu berubah; dan konstitusionalisme itu sendiri tidak semata
menjadi nilai substantif yg dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi, tetapi
proses-proses aktual perubahan konstitusi itu sendiri.
1. PEMBUATAN & AMANDEMEN
KONSTITUSI
Venter (Giovani Sartori,1997):
Perubahan konstitusi hanyalah bagian dr pembuatan konstitusi. Sehingga
pembuatan itu mencakup amandemen maupun revisi.
John P.Wheeler, Jr. (1961) :
membedakan antara amandemen konstitusi dg revisi konstitusi. ‘Amandemen’
sebagai perubahan dlm lingkup terbatas, yg mencakup satu atau sejumlah terbatas
aturan dlm sebuah konstitusi. Sedang ‘revisi’ berarti menimbang-nimbang
keseluruhan atau sebagian besar konstitusi.
2. KAPAN/SAAT PEMBUATAN KONSTITUSI
Robert A.Goldwin & Art Kaufman
(l988) pembuatan konstitusi hanya mungkin dilakukan pada ‘momentum luar biasa’
dalam sejarah suatu bangsa. Sedangkan Elster (Francois Venter, 1999)
mengatakan: “idealnya, sebuah proses pembuatan konstitusi dilakukan dalam
kondisi yg paling tenang dan tanpa gangguan”.
Von Savigny (James A. Curry dkk,
1989) menyatakan momentum semacam itu terjadi ketika sebuah bangsa telah
‘sepenuhnya mencapai kematangan politik & hukumnya’,
Faktanya, hal tersebut diatas
sulit, & bahkan kerap terjadi pd masa-2 sulit dan penuh gejolak, yang
menurut John Elster (1995), pemicu pembuatan konstitusi adalah pada: Krisis
sosial & ekonomi, Revolusi, Runtuhnya rezim, Kekalahan dlm perang, Rekonstruksi
pasca-perang, Pembentukan sebuah negara baru, & Kemerdekaan dr kekuasaan
kolonial.
Tujuh Gelombang pembuatan
konstitusi (John Elster, 1995): Masa 1780-1791 ketika Amerika Serikat,
Perancis, & Polandia menulis Konstitusi; Masa Revolusi Eropa th 1848;
Setelah Perang Dunia Pertama; Saat Perang Dunia Kedua; Saat Proses Dekolonisasi
dari Inggris & Perancis th 1940-1960-an; Setelah runtuhnya kediktatoran
Eropa pertengahan 1970-an; Ketika negara Komunis Eropa Timur dan Eropa Tengah
menerapkan Konstitusi baru pasca runtuhnya imperium Sovyet di akhir 1980-an.
Denny Indrayana (2007: 81) menambah kan gelombang kedelapan, yaitu 1990-an
hingga awal abad 20, dimana Saunders dlm situs Universitas Wuerzburg menemukan
lebih dr 60 konstitusi baru yg sudah diberlakukan dlm 2 dasa warsa terakhir.
Dua puluh Enam konstitusi lainnya mengalami perubahan substansial, termasuk
Afrika Selatan, Filipina, Nigeria, Thailand, dan Indonesia.
Pengaturan waktu pembuatan
konstitusi perlu diperha tikan. Arato dalam John Elster (1995) menyarankan,
Lembaga pembuat konstitusi harus bekerja dg suatu tenggat waktu tertentu,
sehingga tidak ada kelompok yg bisa menggunakan taktik mengulur waktu demi kepenting annya sendiri. Sehingga
lembaga itu bisa menata rencana kerjanya, sekaligus menekan lembaga untuk
menyelesaikan tepat waktu. Thailand dengan 240 hari. Sedangkan Afrika selatan 2
tahun.
3. PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI
DEMOKRATIS:
Rosen dalam Andrea Bonime-Blanc (1987): kalau tujuan
global konstitusi untuk menciptakan sistem politik yg demokratis, maka proses
pembuatannya ’sejauh mungkin harus murni demokratis’. Karena menurut Julius
Ihonvbere (2000)”teramat sangat penting sifatnya bagi kekuatan, akseptabilitas,
& legitimasi produk finalnya”. Vivien Hart (2003) mengatakan hal yg sama
ttg proses yg demokratis.
4.TIPE PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI
Andrea Bonime-Blanc (1987)
menyatakan proses pembuatan konstitusi itu penting karena adanya fakta bahwa
proses mempengaruhi substansi konstitusi. Ada 3 tipe: Konsensual (consensual),
Disensual(dissensual), & Gagal (stillborn).
Konsensual mensyaratkan:
1.Partisipasi dr semua pihak atau minimal sebagian besar kolompok politik yg
ada. 2. Kesepa katannya dicapai dg memastikan adanya tanggungjawab politik yg
menjamin tdk ada solusi dogmatik & pemanfaatan kompromi. 3. Kompromi ini
kerakali menimbulkan kerancuan pada pasal-2 nya. 4. Kerancuan itu menyulitkan
satu atau lebih kelompok politik, ttp tak satupun diantaranya benar-benar tak
sepakat dg teksnya secara keseluruhan, karena mayoritasnya tetap mendukung
konstitusi yg dihasilkan.
Disensual, berarti pembuatan
konstitusi tdk melibat kan semua kelompok politik. Solusi dogmatik menjadi hal
yg lumrah, kesepakatan susah dibuat, bahkan sering melibatkan penolakan/dan
atau keberatan thd pendapat dr kelompok politik utama, sehingga solusi-2 hanya memuaskan kelompok politik dominan.
Akibatnya potensi ancaman bagi sistem politik yg baru akan meningkat, terutama
dr barisan yg sakit hati.
Gagal (stillborn); apabila gagal
menghasilkan draft final, yaitu gagal sebelum di sahkan & diberlakukan,
karena perbedaan antar kelompok politik yg terlalu dalam, sehingga tak mungkin
membentuk suatu koalisi yg dominan. Karakteristik utamanya dari gagal ini
adalah gagal dibuat, kalaupun berhasil diracik, tidak disetujui secara
nasional.
5. TAHAP PEMBUATAN KONSTITUSI:
K.C. Wheare (1958) proses pembuatan
konstitusi ber maksud mengamankan 4 tujuan: 1. konstitusi dibuat hanya atas
dasar musyawarah; 2. rakyat harus punya kesempatan untuk memberikan pendapatnya
selama proses berlangsung; 3. dalam sistem federal, tdk boleh ada pihak yg
bertindak sendiri mengamandemen kekuasaan-2 yg dimiliki unit-unitnya maupun
pemerintah federal; 4. hak individu maupun hak masyarakat (khususnya hak
kelompok minoritas) hrs dilindungi.
Cheryl Sauders (2002) proses
perubahan meliputi 3 tahap: penetapan agenda; pengembangan & perancangan;
serta pengesahan.
a. Penetapan Agenda: terdiri 1.
Menciptakan term of reference atau patokan-2 dasar bagi lembaga pembuat
konstitusi; 2. Mengembangkan prinsip-2 konstitusi yg harus menjadi dasar sebuah
konstitusi; 3.Menciptakan kesepakatan awal diantara tokoh-2 kunci, dan; 4.Me
mutuskan sebuah prosedur pengesahan yg disepakati bersama, yaitu prosedur yg
akan dilalui oleh rancangan konstitusi.
Penetapan agenda itu menurut
Bonime-Blanc diawali dg sebuah Pemilihan Umum untuk mempersiapkan sebuah “masa
pra-Konstitusi” dg di dahului pengesah an partai-2 politik & pembuatan UU
Pemilu. Sekaligus perlu suatu proses “legalisasi sosial-politik” dimana
jerat-ikatan otoriter thd kebebasan asasi dihilangkan, dan sebuah ‘ilegalisasi
otoriter’ dimana pembatasan & larangan diberlakukan thd mekanisme
otoriter yg se-wenang-2. Tanpa kondisi
ini, proses pembuatan terancam gagal.
Penetapan Agenda harus memutuskan
pembuatan konstitusi itu berupa ‘sebuah konstitusi yg sama-sekali baru’ atau
berupa ‘perubahan-perubahan thd yg ada’. Biasanya negara yg sdg dlm masa
transisi dr otoriter akan memilih konstitusi baru.
Paczolay (KC Wheare, 1958)
berargumen bahwa meng adopsi konstitusi baru disukai karena: 1.konstitusi itu
sendiri menegaskan urgennya mengadopsi konstitusi baru, 2.legitimasi hilir
(downstream legitimacy) akan lebih kuat bila di dasarkan pada “dokumen yg
diundangkan secara besar-besaran”. 3.pemberlakuan konstitusi dg referendum, sehingga
bisa memberi legitimasi hilir yg tak mungkin di ganggu-gugat, 4.konstitusi yg
baru dpt menghilangkan inkonstitusi dlm konstitusi yg lama.
Contoh: Thailand, Penetapan Agenda
dimulai dg amandemen pasal 211 Konstitusi 1991 ttg prosedur pembuatan konstitusi.
Pasal yg diubah itu mengatur: pembentukan Majlis Perancang Konstitusi sbg
lembaga resmi yg akan meramu draft konstitusi;Proses seleksi keanggotaan;
menetapkan 240 hari sbg masa kerja; dan meratifikasi mekanisme-2 konstitusi yg
baru.
b. Pengembangan & Perancangan.
Pada tahap ini lembaga pembuat konstitusi mempersiapkan naskah bakal
konstitusi. Sehingga penentuan mekanisme-2 pengambilan keputusan &
konsultasi publik memain kan peranan yg krusial. Pengambilan keputusan itu
menurut Cheryl Saunders (2002): mayoritas dan konsensus. Mayoritas, relatif
lebih cepat dicapai untuk mengatasi perbedaan pendapat, tetapi problematik
jadinya kalau
pengesahannya
mensyaratkan pengesahan khusus, maka keputusan yg diambil pd tahap perancangan
jadi sia-sia pd tahap pengesahan. Sdg kan konsensus dpt menciptakan harmoni,
ttp butuh banyak waktu, teruta ma kalau ada kelompok minoritas yg menentang
posisi mayoritas.
Andrew Arato
(1995): konsensus lebih disukai drpd mayoritas, karena konsensus merupakan
salah satu prinsip dlm proses pembuatan konstitusi, disamping publisitas,
kesinambungan hukum, & pluralitas demokrasi.
Penciptaan
konsensus, dg cara pelibatan publik. Partisipasi ini akan membantu faksi-faksi
politik mempertimbngkan posisi mereka. Menurut Cass R. Sunatein (2001)
keterlibatan masyarakat dlm konteks ini, memainkan peran sebagai “eksternal
shock” untuk menghentikan “permainan polarisasi” atau pengambilan posisi
ekstrem.
— c.Persetujuan,
dimaksudkan untuk memberikan “efek hukum” bagi konstitusi sekaligus legitimasi
hilirnya. Menurut Cheryl Saunders (2002) tdk ada bentuk persetujuan baku,
karena bervariasi sesuai dg kondisi negara. Persetujuan itu dengan: a.
Persetujuan rakyat dg referendum; b. Ratifikasi oleh sebuah Lembaga Perwakilan.
— Referendum
memiliki makna simbolis & cenderung menimbulkan rasa memiliki dikalangan
rakyat (Cheryl Saunders, 2002) dan akan memberi legitimasi mutlak, tetapi hanya
cocok untuk konstitusi baru. Sedangkan apabila amandemen kecil, cukup
persetujuan parlemen (Paczolay). Tetapi referendum tanpa partisipasi publik
yang memadai adalah sebuah “gerak langkah tanpa makna” (Cheryl Saunders, 2002).
— Afrika
Selatan, menurut pasal 73 Konstitusi Sementara persetujuannya adalah :
Pertama,Draft konstitusi oleh Majlis Konstitusi harus disetujui dua pertiga
Majlis. Bila gagal, maka dilakukan dg cara kedua, persetujuan sebuah panel yg
terdiri dari pakar konstitusi yg diundang ke hadapan Majlis Konstitusi untuk
membuat keputusan. Bila masih gagal, maka yg ketiga diterapkan dg persetujuan
60% suara Referendum Nasional dengan catatan Mahkamah Konstitusi menyatakan
draft itu tidak melanggar dari dasar-dasar konstitusi. Bila tidak berhasil,
yaitu dengan Keempat, membentuk Majlis Konstitusi Baru. Majlis inilah yg
melaksanakan tugas menyetujui & mengesahkan. Kenyataannya dg dua metode
sudah disetujui. Sebabnya, 1. Mendorong partisipasi aktif rakyat dalam proses
pembuatan konstitusi, sehingga melahirkan akseptasi de facto rakyat thd draft
konstitusi. 2. Konfigurasi Partai Kongres Nasional pimpinan Mandela sebesar 62%
di Majlis Konstitusi.
— Thailand:
1. Draft Konstitusi disetujui 50% anggota parlemen, yg kemudian dibawa ke Raja
untuk diratifikasi. Bila parlemen tdk sepakat, 2. Referendum. Ini terjadi
karena Draft hasil Rumusan Majlis Perancang Konstitusi dijelaskan dg baik ke
publik, se hingga dapat persetujuan parlemen.
LEMBAGA PEMBUAT
KONSTITUSI:
Carl Schmitt yang
dikutip Renato Cristi (2000) menga takan bahwa sebuah Konstitusi adalah sah,
apabila kekuasaan dan kewenangan lembaga konstituen yang mengeluarkan keputusan
diakui oleh rakyat.
John Elster (1993)
menyebutkan 3 tipe legitimasi; Legitimasi Hulu (upstream legitimacy),
berhubungan dg lembaga pembuat konstitusi; Legitimasi Proses, berkaitan dg
proses pengambilan keputusan oleh lembaga pembuat konstitusi; dan Legitimasi
Hilir, terkait dg ratifikasi.
Klasifikasi
kepentingan
— Lembaga
pembuat konstitusi haruslah Independen, karena akan muncul banyak kepentingan.
John Elster (1993) memilah kepentingan: Pribadi, Kelompok, & Lembaga. Kepentingan
Pribadi para pembuat konstitu si merpakan persoalan relatif kecil karena
mengacu pd keuntungan individu dr lembaga konstitusi ttt. Kepentingan Kelompok,
lebih signifikan, seperti kepentingan partai politik, berbagai sub-unit
teritorial, atau korporasi sosial-ekonomi. Kepentingan Lembaga menurut Gabriel
L.Negretto (1998) dalam pembuatan konstitusi timbul ketika sebuah lembaga yg
ikut terlibat dlm proses memasukkan sebuah peran penting untuk diri lembaganya
sendiri ke dalam sebuah rancangan konstitusi. Misalnya eksekutif berusaha
mempertahankan/menetapkan independensi eksekutif dr campur tangan legislatif
atau mendongkraknya. Legislatif berusaha mengimbangi kontrol eksekutif, atau
mendongkrak kekuasaan cabang legislatif.
A. Komisi Ahli
— Komisi
Ahli bisa disebut juga Komisi Konstitusi atau “lembaga independen” (Cheryl
Sauders,2002) yang beranggotakan sejumlah ahli yg dianggap tepat untuk
melakukan pengambilan keputusan yang efektif. Mereka harus memiliki pengetahuan
tentang hal ihwal konstitusi yg dianggap perlu. Prakteknya skrg ini, kepakaran
bukan lagi sebagai satu-satunya ukuran yg dianggap perlu, karena untuk
memuaskan isu keterwakilan, sekaligus mengontrol legitimasi maka dibuat se
inklusif mungkin. Sehingga perlu memasukkan wakil-2 dari komunitas kunci.
Bahkan tanpa kepakaran sekalipun. Di Thailand dari 99 anggota, 76 diambil dari
perwakilan propinsi, dan sisanya dari kategori “Ahli”. Di Fiji menurut Sauders,
dua dari tiga diambil dari komunitas Asli Fiji & Indo Fiji.
Legitimasi Hulu
— Legitimasi
hulu biasanya menjadi titik terlemah sebuah komisi ahli. Biasanya
ditunjuk/dipilih oleh eksekutif atau legislatif dan tidak langsung oleh rakyat
sehingga komisi semacam ini kurang mendapat legitimasi rakyat. Cara yg baik
adalah dengan menye lenggarakan pemilu untuk membentuk sebuah badan eksekutif
atau legislatif yang legitimate yg bisa diikuti dengan sebuah prosedur
demokratis untuk memilih anggota-anggota komisi tersebut.
— Model
Thailand. Komisi dipilih oleh Majlis Nasional melalui 2 mekanisme: pemilihan
dan nominasi univer sitas. Mekaisme pertama digunakan untuk memilih 76 anggota
yg mewakili propinsi yg dipilih dari 10 kandidat yg lolos dlm pemilihan tingkat
propinsi, sedangkan kedua untuk menyeleksi 23 dari kalangan ahli yg dipilih Majlis
nasional , dari 45 kandidat dg keahlian Politik, Hukum, & Administrasi
Negara masing-masing 15, dan dipilih 8,
8, 7, untuk duduk dlm Majlis Perancang Konstitusi.
Legitimasi Proses
— Keuanggulan
komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya” dan “penjagaan jarak
dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan yg baik dihasilkan dari
dalamnya pemahaman anggota komisi thd masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan
berkompromi akan mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan mengasilkan
terlalu banyak alternatif konstitusi.
KEPENTINGAN KOMISI AHLI
— Komisi
ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga Perwakilan, karena
cenderung jauh dari kepentingan kelompok & lembaga, sebab bebas dari afiliasi politik. Independensi komisi
dari kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai lembaga
ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang akan diganti/diubah
yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu diberlakukan.
— Tentang
adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981) mengatakan bahwa, efek berkurangnya
kepentingan-2 politik kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti
ada. Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat. Carl J.
Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah konstitusi adalah sebuah proses
yg inheren memang politis sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi
sebuah komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama mereka tentang
masalah konstitusi.
— Pengalaman
Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg cara mensyaratkan agar semua
kandidat yg melamar jadi anggota Majlis Perancang Konstitusi
Legitimasi Proses
— Keuanggulan
komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya” dan “penjagaan jarak
dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan yg baik dihasilkan dari
dalamnya pemahaman anggota komisi thd masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan
berkompromi akan mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan
mengasilkan terlalu banyak alternatif konstitusi.
KEPENTINGAN KOMISI AHLI
— Komisi
ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga Perwakilan, karena
cenderung jauh dari kepentingan kelompok & lembaga, sebab bebas dari afiliasi politik. Independensi komisi
dari kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai lembaga
ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang akan diganti/diubah
yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu diberlakukan.
— Tentang
adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981) mengatakan bahwa, efek berkurangnya
kepentingan-2 politik kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti
ada. Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat. Carl J.
Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah konstitusi adalah sebuah proses
yg inheren memang politis sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi
sebuah komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama mereka tentang
masalah konstitusi.
— Pengalaman
Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg cara mensyaratkan agar semua
kandidat yg melamar jadi anggota Majlis Perancang Konstitusi
harus bebas dari
afiliasi politik apapun. Kenyataannya syarat tsb bukanlah jaminan bahwa anggota
Majlis ini tidak akan terpengaruh oleh partai politik, sebab Majlis nasional yg
terdiri dari partai politik pasti akan ikut campur, setidaknya akan memilih
orang-orang yg mau menuliskan konstitusi yg paling pas dengan kepentingan
partai mereka. Menurut Andrew Harding (Denny Indrayana, 2007:102) proses
seleksi ini memang dpt mengurangi godaan kepentingan politik, terbukti Majlis
ini menerapkan pendekatan “zero tolerance” dalam soal tujuan-tujuan konstitusi
yang mendasar, sehingga Draft yg dihasilkan bisa tetap berisi sejumlah
pembatasan dan pemeriksaan yg intens thd pemerintah, yg berusaha mempengaruhi politisi
di Majlis Nasional. Sehingga majlis inipun menyetujuinya dengan rasa enggan.
Legitimasi Hilir
— Draft
konstitusi yg dibuat suatu komisi tdk bisa langsung berlaku, karena harus
diserahkan kpd Lembaga pembuat hukum ttt, apakah legislatif atau referendum
rakyat. Berbeda dg yg dirancang oleh legis layur biasa, maka bsa disahkan
sendiri. Jadi Komisi ini hanya alat bantu dan “kerja utamanya, meneliti, meng
identifikasi persoalan yg ada, dan mendidik masyara kat”. Maka caranya
untukmengatasi masalah legitimasi hilir adalah memaksimalkan partisipasi
masyarakat, sehingga apabila bisa dikelola dg baik akan menghasilkan sikap
penerimaan yg baik thd draft konstitusi oleh rakyat, maka akan tercipta tekanan
publik thd parlemen untuk menerima draft itu.
— Di
Thailand partisipasi publik sangat luas, disamping prosedur pengesahannya
menyebutkan: Parlemen hanya punya kewenangan untuk menyetujui atau menolak
draft. Parlemen tidak berhak mengamandemen. Jika menolak, sebuah referendum
publik digelar. Nyatanya tidak perlu digelar, hal ini sebagai hasil
keterlibatan publik, dan rakyat merasa “memiliki” dokumen itu (Kevin Y.L.Tan,
2002:38). Terbukti, yg sebenarnya parlemen enggan menerima, akhirnya bisa
menerima, itu membuktikan hasil tekanan publik dr pd sikap sukarela. Prudhisan
Jumbala (1998: 265) berpendapat bahwa penolakan draft akan memicu krisis
ekonomi dan politik lebih jauh bahkan menyeret negara dlm instabilitas.
Sedangkan Andrew Harding (2001:239) menengarai adanya ancaman kudeta militer
yang menghantui persetujuan itu.
— KESIMPULAN:
Tentang komisi ahli ini mengisyaratkan bahwa jika syarat legitimasi hulu sebuah
komisi ahli bisa diatasi, dengan seleksi yang demokratis, maka legitimasi
prosesnya akan meningkat, dan komisi yang bersangkutan berpeluang bagus
menyelesaikan pekerjaannya dg bebas dr kepentingan kelompok dan lembaga.
Peluang hasil konstitusi demokratis bertambah apabila prosesnya melibatkan
publik yg luas, sehingga meningkatkan legitimasi hilir
B.PARLEMEN BIASA
— 1.Prinsip
Keluwesan: McWhinney berpendapat memilih parlemen biasa sebagai lembaga pembuat
konstitusi di dasarkan prinsip keluwesan, berdasar Revolusi Perancis (1981:29).
Dengan catatan, bisa efektif apabila konstitusinya sudah berjalan dan perubahan
itu tdk termasuk merestrukturisasi sistem negara secara radikal, sehingga tidak
perlu majlis konstituante, karena mag=hal dan banyak waktu. Persoalannya
adalah, parlemen biasa itu tdk bisa fokus karena juga berkewajiban thd tugasnya
sebagai parlemen biasa, sehingga tidak menjadi prioritas dan bahkan muncul
konflik kelembagaan dan diwarnai dg ketidakluwesan (Denny Indrayana, 2007:
105).
— 2.Masalah
independensi, merupakan titik terlemah dr lembaga parlemen biasa, karena tidak
mudah mensterilkan dr kepentingan para anggotanya yg beragam, terutama kepentingan
partai politik, bahkan kepentingan kelompok.
— 3.
Masalah kepentingan lembaga, juga akan sangat mempengaruhi. Bgmn bisa obyektif,
kalau lembaga yg membuat akan menempatkan lembaganya sendiri pd tempat yg lebih
rendah dari yang semula, minimal dlm kewenangannya. Menurut John Elster
(1998:380): lembaga pembuat konstitusi yg juga sbg parlemen biasa akan
menimbulkan 3 implikasi, sebagaimana di Eropa Timur setelah runtuhnya Uni
Sovyet:
— Pertama,
Parlemen akan memberikan kekuasaan yg lebih besar kepada cabang-cabang
lebigslatif seraya mengorbankan eksekutif & yudikatif.
— Kedua,
parlemen satu kamar dan dua kamar akan cenderung membuat masing-2 konstitusi
satu kamar dan dua kamar. Bulgaria, Slovakia, & Hungaria yg parlemen satu
kamar membuat konstitusi satu kamar. Demikian juga Rumania dan Polandia yg 2
kamar buat 2kamar juga.
— Ketiga,
Parlemen sering memberi dirinya kekuasaan yg lebih besar untuk mengubah
konstitusinya. Misalnya, secara kelembagaan badan ini tidak berkepentingan
untuk merekomendasikan bahwa sejumlah amandemen konstitusi diserahkan pada
referendum
— Pengalaman
Afrika Selatan yang membuat draft konstitusi bisa sukses. Hal ini terjadi
karena Parlemen itu bukan lembaga legislatif “biasa”, karena : 1. Pemilu th
1994 yg demokratis memberi legitimasi hulu yg kuat bagi legislaturnya. 2.
Tanggungjawab khusus legis latur ini sebagai sebuah Majlis Konstitusi
berdasarkan pada Konstitusi Sementara. 3. Adanya dukungan dr kalangan Ahli. 4.
Adanya keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam mengesahkan draft Konstitusi. 5.
Luasnya partisipasi publik.
— Kesmpulannya:
Parlemen punya peluang lebih baik untuk mendapatkan legitimasi hulu yg kuat dr
pd komisi ahli, tetapi parlemen rentan sifatnya, karena bisa direcoki
kepentingan partai politik dan kepenti ngan parlemen sendiri. Di Afrika
Selatan, kerentanan itu bisa diatasi dg keterlibatan Mahkamah Konstitusi &
partisipasi publik.
PENTINGNYA PARTISIPASI
MASYARAKAT
— Commonwealth
Human Rights Initiative dalam reko mendasinya kpd Commonwealth Heads of Govern
ment meeting tahun 1999, menetapkan 11 prinsip pem buatan konstitusi yang
berkaitan dg partisipasi publik:
— 1.
Legitimasi, 2. Inklusivitas, 3. Masyarakat sipil, 4. Ke terbukaan &
transparansi, 5. Aksesibilitas, 6. Pengkaji an yang berkesinambungan, 7.
Akuntabilitas, 8. Pen tingnya Proses, 9. Peran partai Politik, 10. Peran Masya
rakat Sipil, 11. Peran para Pakar.
— Aktif
& Inklusif: Konsultasi publik harus berbentuk kontribusi yg aktif &
inklusif. Kontribusi aktif terben tuk karena adanya konsultasi publik, sebelum
aspek-2 konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif.
— Untuk
menumbuhkan partisipasi publik yg inklusif, diperlukan strategi untuk mengatasi
dominasi kelompok tertentu & untuk merangsang partisipasi kelompok lain yg
bungkam. Tetapi isu-2 penting konstitusi jarang diminati masyarakat luas. Oleh
krn itu sebisa mungkin yang dipahami masyarakat luas & segala jenis media
(TV, Cetak, dan Radio) harus diman faatkan, karena di masyarakat mungkin
berbeda media yg dimanfaatkan.
— Di
Afrika Selatan, Surat Kabar, TV, & Radio dg tajuk Constitutional Talk,
disamping satu Hot Line telpon & satu situs internet. Ribuan rapat umum
digelar terbuka di seluruh wilayah. Pertemuan sektoral dg 200 organisasi
mewakili sejumlah kelompok kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar