Total Tayangan Halaman

Label

Selasa, 23 Oktober 2012

pembuatan dan perubahan konstitusi

    1. Prinsip Umum Pembuatan & Perubahan
        Konstitusi :
         A. Komisi Ahli
         B. Parlemen Biasa
    2. Prosedur Pembuatan dan Perubahan di Indonesia

  A. PEMBUATAN & PERUBAHAN KONSTITUSI

  Francois Venter (1999) mengatakan ‘konstitusi’ itu sifatnya dinamis. John P. Wheeler Jr. (1961) berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan. Romano Prodi (Anthony Browne, 2004) mengatakan; Konstitusi yg tak bisa diubah adalah konstitusi yg lemah, karena ia tdk bisa beradaptasi dg realitas. Pada hal sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yg terus berubah. Bahkan Brannon P. Denning (Friedrich,1950) menyatakan, sebuah mekanisme amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-2 mereka untuk memerintah. Sehingga pada bagian lain Francois
   Venter (1999) mengatakan:”….Konstitusi yg ‘final’itu tdk ada, karena konstitusi nasional itu sama hidupnya dg negara, terdiri dr begitu banyak manusia yg berpikir, yg untuknyalah konstitusi itu ada. Ide bahwa konstitusi tdk bisa diganggu-gugat tdk mungkin konsisten dg dalil-2 negara konstitusional modern”.

 
    James L. Sundsquist (1986)mengatakan; bahwa setelah konstitusi Amerika diberlakukan, James Madison menyatakan, “penulis bukanlah salah satu di antara orang-2 (kalau memang ada) yg berpikir bahwa Konstitusi yg baru saja diberlakukan adalah sebuah karya tanpa cacat”.
   
  Dua puluh delapan tahun kemudian Gubernur Moris menurut Edward McWhinney (l981) mengatakan:”…… segala yg manusiawi tak mungkin bisa sempurna. Dike pung oleh kesulitan-2, kami sudah lakukan yg terbaik yg kami bisa; (lalu kami) serahkan semuanya kepada penerus-2 kami untuk belajar dari pengalaman, & dgn cara yg bijaksana menggunakan kekuasaan untuk melakukan amandemen, yg sudah kami berikan”.
  • Edward McWhinney (1981) juga mengatakan; tugas & tanggungjawab utama elite politik dalam sebuah pemerintahan yg konstitusional adalah mengantisipasi, mengoreksi, & mengubah substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yg sama kearah proses demokrasi”.
  Carl J. Friedrich (1950): dalam konstitusi modern yg baik, aturan-2 untuk melakukan amandemen merupa kan satu bagian yg vital.
  Edward McWhinney (1981) : setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah; dan konstitusionalisme itu sendiri tidak semata menjadi nilai substantif yg dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi, tetapi proses-proses aktual perubahan konstitusi itu sendiri.


1. PEMBUATAN & AMANDEMEN KONSTITUSI
Venter (Giovani Sartori,1997): Perubahan konstitusi hanyalah bagian dr pembuatan konstitusi. Sehingga pembuatan itu mencakup amandemen maupun revisi.
John P.Wheeler, Jr. (1961) : membedakan antara amandemen konstitusi dg revisi konstitusi. ‘Amandemen’ sebagai perubahan dlm lingkup terbatas, yg mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan dlm sebuah konstitusi. Sedang ‘revisi’ berarti menimbang-nimbang keseluruhan atau sebagian besar konstitusi.
2. KAPAN/SAAT PEMBUATAN KONSTITUSI
Robert A.Goldwin & Art Kaufman (l988) pembuatan konstitusi hanya mungkin dilakukan pada ‘momentum luar biasa’ dalam sejarah suatu bangsa. Sedangkan Elster (Francois Venter, 1999) mengatakan: “idealnya, sebuah proses pembuatan konstitusi dilakukan dalam kondisi yg paling tenang dan tanpa gangguan”.
Von Savigny (James A. Curry dkk, 1989) menyatakan momentum semacam itu terjadi ketika sebuah bangsa telah ‘sepenuhnya mencapai kematangan politik & hukumnya’,
Faktanya, hal tersebut diatas sulit, & bahkan kerap terjadi pd masa-2 sulit dan penuh gejolak, yang menurut John Elster (1995), pemicu pembuatan konstitusi adalah pada: Krisis sosial & ekonomi, Revolusi, Runtuhnya rezim, Kekalahan dlm perang, Rekonstruksi pasca-perang, Pembentukan sebuah negara baru, & Kemerdekaan dr kekuasaan kolonial.
Tujuh Gelombang pembuatan konstitusi (John Elster, 1995): Masa 1780-1791 ketika Amerika Serikat, Perancis, & Polandia menulis Konstitusi; Masa Revolusi Eropa th 1848; Setelah Perang Dunia Pertama; Saat Perang Dunia Kedua; Saat Proses Dekolonisasi dari Inggris & Perancis th 1940-1960-an; Setelah runtuhnya kediktatoran Eropa pertengahan 1970-an; Ketika negara Komunis Eropa Timur dan Eropa Tengah menerapkan Konstitusi baru pasca runtuhnya imperium Sovyet di akhir 1980-an. Denny Indrayana (2007: 81) menambah kan gelombang kedelapan, yaitu 1990-an hingga awal abad 20, dimana Saunders dlm situs Universitas Wuerzburg menemukan lebih dr 60 konstitusi baru yg sudah diberlakukan dlm 2 dasa warsa terakhir. Dua puluh Enam konstitusi lainnya mengalami perubahan substansial, termasuk Afrika Selatan, Filipina, Nigeria, Thailand, dan Indonesia.
Pengaturan waktu pembuatan konstitusi perlu diperha tikan. Arato dalam John Elster (1995) menyarankan, Lembaga pembuat konstitusi harus bekerja dg suatu tenggat waktu tertentu, sehingga tidak ada kelompok yg bisa menggunakan taktik mengulur  waktu demi kepenting annya sendiri. Sehingga lembaga itu bisa menata rencana kerjanya, sekaligus menekan lembaga untuk menyelesaikan tepat waktu. Thailand dengan 240 hari. Sedangkan Afrika selatan 2 tahun.
3. PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI DEMOKRATIS:
Rosen dalam  Andrea Bonime-Blanc (1987): kalau tujuan global konstitusi untuk menciptakan sistem politik yg demokratis, maka proses pembuatannya ’sejauh mungkin harus murni demokratis’. Karena menurut Julius Ihonvbere (2000)”teramat sangat penting sifatnya bagi kekuatan, akseptabilitas, & legitimasi produk finalnya”. Vivien Hart (2003) mengatakan hal yg sama ttg proses yg demokratis.
4.TIPE PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI
Andrea Bonime-Blanc (1987) menyatakan proses pembuatan konstitusi itu penting karena adanya fakta bahwa proses mempengaruhi substansi konstitusi. Ada 3 tipe: Konsensual (consensual), Disensual(dissensual), & Gagal (stillborn).
Konsensual mensyaratkan: 1.Partisipasi dr semua pihak atau minimal sebagian besar kolompok politik yg ada. 2. Kesepa katannya dicapai dg memastikan adanya tanggungjawab politik yg menjamin tdk ada solusi dogmatik & pemanfaatan kompromi. 3. Kompromi ini kerakali menimbulkan kerancuan pada pasal-2 nya. 4. Kerancuan itu menyulitkan satu atau lebih kelompok politik, ttp tak satupun diantaranya benar-benar tak sepakat dg teksnya secara keseluruhan, karena mayoritasnya tetap mendukung konstitusi yg dihasilkan.
Disensual, berarti pembuatan konstitusi tdk melibat kan semua kelompok politik. Solusi dogmatik menjadi hal yg lumrah, kesepakatan susah dibuat, bahkan sering melibatkan penolakan/dan atau keberatan thd pendapat dr kelompok politik utama, sehingga solusi-2  hanya memuaskan kelompok politik dominan. Akibatnya potensi ancaman bagi sistem politik yg baru akan meningkat, terutama dr barisan yg sakit hati.
Gagal (stillborn); apabila gagal menghasilkan draft final, yaitu gagal sebelum di sahkan & diberlakukan, karena perbedaan antar kelompok politik yg terlalu dalam, sehingga tak mungkin membentuk suatu koalisi yg dominan. Karakteristik utamanya dari gagal ini adalah gagal dibuat, kalaupun berhasil diracik, tidak disetujui secara nasional.
5. TAHAP PEMBUATAN KONSTITUSI:
K.C. Wheare (1958) proses pembuatan konstitusi ber maksud mengamankan 4 tujuan: 1. konstitusi dibuat hanya atas dasar musyawarah; 2. rakyat harus punya kesempatan untuk memberikan pendapatnya selama proses berlangsung; 3. dalam sistem federal, tdk boleh ada pihak yg bertindak sendiri mengamandemen kekuasaan-2 yg dimiliki unit-unitnya maupun pemerintah federal; 4. hak individu maupun hak masyarakat (khususnya hak kelompok minoritas) hrs dilindungi.
Cheryl Sauders (2002) proses perubahan meliputi 3 tahap: penetapan agenda; pengembangan & perancangan; serta pengesahan.
a. Penetapan Agenda: terdiri 1. Menciptakan term of reference atau patokan-2 dasar bagi lembaga pembuat konstitusi; 2. Mengembangkan prinsip-2 konstitusi yg harus menjadi dasar sebuah konstitusi; 3.Menciptakan kesepakatan awal diantara tokoh-2 kunci, dan; 4.Me mutuskan sebuah prosedur pengesahan yg disepakati bersama, yaitu prosedur yg akan dilalui oleh rancangan konstitusi.
Penetapan agenda itu menurut Bonime-Blanc diawali dg sebuah Pemilihan Umum untuk mempersiapkan sebuah “masa pra-Konstitusi” dg di dahului pengesah an partai-2 politik & pembuatan UU Pemilu. Sekaligus perlu suatu proses “legalisasi sosial-politik” dimana jerat-ikatan otoriter thd kebebasan asasi dihilangkan, dan sebuah ‘ilegalisasi otoriter’ dimana pembatasan & larangan diberlakukan thd mekanisme otoriter  yg se-wenang-2. Tanpa kondisi ini, proses pembuatan terancam gagal.
Penetapan Agenda harus memutuskan pembuatan konstitusi itu berupa ‘sebuah konstitusi yg sama-sekali baru’ atau berupa ‘perubahan-perubahan thd yg ada’. Biasanya negara yg sdg dlm masa transisi dr otoriter akan memilih konstitusi baru.
Paczolay (KC Wheare, 1958) berargumen bahwa meng adopsi konstitusi baru disukai karena: 1.konstitusi itu sendiri menegaskan urgennya mengadopsi konstitusi baru, 2.legitimasi hilir (downstream legitimacy) akan lebih kuat bila di dasarkan pada “dokumen yg diundangkan secara besar-besaran”. 3.pemberlakuan konstitusi dg referendum, sehingga bisa memberi legitimasi hilir yg tak mungkin di ganggu-gugat, 4.konstitusi yg baru dpt menghilangkan inkonstitusi dlm konstitusi yg lama.
Contoh: Thailand, Penetapan Agenda dimulai dg amandemen pasal 211 Konstitusi 1991 ttg prosedur pembuatan konstitusi. Pasal yg diubah itu mengatur: pembentukan Majlis Perancang Konstitusi sbg lembaga resmi yg akan meramu draft konstitusi;Proses seleksi keanggotaan; menetapkan 240 hari sbg masa kerja; dan meratifikasi mekanisme-2 konstitusi yg baru.
b. Pengembangan & Perancangan. Pada tahap ini lembaga pembuat konstitusi mempersiapkan naskah bakal konstitusi. Sehingga penentuan mekanisme-2 pengambilan keputusan & konsultasi publik memain kan peranan yg krusial. Pengambilan keputusan itu menurut Cheryl Saunders (2002): mayoritas dan konsensus. Mayoritas, relatif lebih cepat dicapai untuk mengatasi perbedaan pendapat, tetapi problematik jadinya kalau
    pengesahannya mensyaratkan pengesahan khusus, maka keputusan yg diambil pd tahap perancangan jadi sia-sia pd tahap pengesahan. Sdg kan konsensus dpt menciptakan harmoni, ttp butuh banyak waktu, teruta ma kalau ada kelompok minoritas yg menentang posisi mayoritas.
    Andrew Arato (1995): konsensus lebih disukai drpd mayoritas, karena konsensus merupakan salah satu prinsip dlm proses pembuatan konstitusi, disamping publisitas, kesinambungan hukum, & pluralitas demokrasi.
    Penciptaan konsensus, dg cara pelibatan publik. Partisipasi ini akan membantu faksi-faksi politik mempertimbngkan posisi mereka. Menurut Cass R. Sunatein (2001) keterlibatan masyarakat dlm konteks ini, memainkan peran sebagai “eksternal shock” untuk menghentikan “permainan polarisasi” atau pengambilan posisi ekstrem.
  c.Persetujuan, dimaksudkan untuk memberikan “efek hukum” bagi konstitusi sekaligus legitimasi hilirnya. Menurut Cheryl Saunders (2002) tdk ada bentuk persetujuan baku, karena bervariasi sesuai dg kondisi negara. Persetujuan itu dengan: a. Persetujuan rakyat dg referendum; b. Ratifikasi oleh sebuah Lembaga Perwakilan.
  Referendum memiliki makna simbolis & cenderung menimbulkan rasa memiliki dikalangan rakyat (Cheryl Saunders, 2002) dan akan memberi legitimasi mutlak, tetapi hanya cocok untuk konstitusi baru. Sedangkan apabila amandemen kecil, cukup persetujuan parlemen (Paczolay). Tetapi referendum tanpa partisipasi publik yang memadai adalah sebuah “gerak langkah tanpa makna” (Cheryl Saunders, 2002).
  Afrika Selatan, menurut pasal 73 Konstitusi Sementara persetujuannya adalah : Pertama,Draft konstitusi oleh Majlis Konstitusi harus disetujui dua pertiga Majlis. Bila gagal, maka dilakukan dg cara kedua, persetujuan sebuah panel yg terdiri dari pakar konstitusi yg diundang ke hadapan Majlis Konstitusi untuk membuat keputusan. Bila masih gagal, maka yg ketiga diterapkan dg persetujuan 60% suara Referendum Nasional dengan catatan Mahkamah Konstitusi menyatakan draft itu tidak melanggar dari dasar-dasar konstitusi. Bila tidak berhasil, yaitu dengan Keempat, membentuk Majlis Konstitusi Baru. Majlis inilah yg melaksanakan tugas menyetujui & mengesahkan. Kenyataannya dg dua metode sudah disetujui. Sebabnya, 1. Mendorong partisipasi aktif rakyat dalam proses pembuatan konstitusi, sehingga melahirkan akseptasi de facto rakyat thd draft konstitusi. 2. Konfigurasi Partai Kongres Nasional pimpinan Mandela sebesar 62% di Majlis Konstitusi.
  Thailand: 1. Draft Konstitusi disetujui 50% anggota parlemen, yg kemudian dibawa ke Raja untuk diratifikasi. Bila parlemen tdk sepakat, 2. Referendum. Ini terjadi karena Draft hasil Rumusan Majlis Perancang Konstitusi dijelaskan dg baik ke publik, se hingga dapat persetujuan parlemen.
    LEMBAGA PEMBUAT KONSTITUSI:
    Carl Schmitt yang dikutip Renato Cristi (2000) menga takan bahwa sebuah Konstitusi adalah sah, apabila kekuasaan dan kewenangan lembaga konstituen yang mengeluarkan keputusan diakui oleh rakyat.
   John Elster (1993) menyebutkan 3 tipe legitimasi; Legitimasi Hulu (upstream legitimacy), berhubungan dg lembaga pembuat konstitusi; Legitimasi Proses, berkaitan dg proses pengambilan keputusan oleh lembaga pembuat konstitusi; dan Legitimasi Hilir, terkait dg ratifikasi.
   Klasifikasi kepentingan
  Lembaga pembuat konstitusi haruslah Independen, karena akan muncul banyak kepentingan. John Elster (1993) memilah kepentingan: Pribadi, Kelompok, & Lembaga. Kepentingan Pribadi para pembuat konstitu si merpakan persoalan relatif kecil karena mengacu pd keuntungan individu dr lembaga konstitusi ttt. Kepentingan Kelompok, lebih signifikan, seperti kepentingan partai politik, berbagai sub-unit teritorial, atau korporasi sosial-ekonomi. Kepentingan Lembaga menurut Gabriel L.Negretto (1998) dalam pembuatan konstitusi timbul ketika sebuah lembaga yg ikut terlibat dlm proses memasukkan sebuah peran penting untuk diri lembaganya sendiri ke dalam sebuah rancangan konstitusi. Misalnya eksekutif berusaha mempertahankan/menetapkan independensi eksekutif dr campur tangan legislatif atau mendongkraknya. Legislatif berusaha mengimbangi kontrol eksekutif, atau mendongkrak kekuasaan cabang legislatif.
  A. Komisi Ahli
  Komisi Ahli bisa disebut juga Komisi Konstitusi atau “lembaga independen” (Cheryl Sauders,2002) yang beranggotakan sejumlah ahli yg dianggap tepat untuk melakukan pengambilan keputusan yang efektif. Mereka harus memiliki pengetahuan tentang hal ihwal konstitusi yg dianggap perlu. Prakteknya skrg ini, kepakaran bukan lagi sebagai satu-satunya ukuran yg dianggap perlu, karena untuk memuaskan isu keterwakilan, sekaligus mengontrol legitimasi maka dibuat se inklusif mungkin. Sehingga perlu memasukkan wakil-2 dari komunitas kunci. Bahkan tanpa kepakaran sekalipun. Di Thailand dari 99 anggota, 76 diambil dari perwakilan propinsi, dan sisanya dari kategori “Ahli”. Di Fiji menurut Sauders, dua dari tiga diambil dari komunitas Asli Fiji & Indo Fiji.               
   Legitimasi Hulu
  Legitimasi hulu biasanya menjadi titik terlemah sebuah komisi ahli. Biasanya ditunjuk/dipilih oleh eksekutif atau legislatif dan tidak langsung oleh rakyat sehingga komisi semacam ini kurang mendapat legitimasi rakyat. Cara yg baik adalah dengan menye lenggarakan pemilu untuk membentuk sebuah badan eksekutif atau legislatif yang legitimate yg bisa diikuti dengan sebuah prosedur demokratis untuk memilih anggota-anggota komisi tersebut.
  Model Thailand. Komisi dipilih oleh Majlis Nasional melalui 2 mekanisme: pemilihan dan nominasi univer sitas. Mekaisme pertama digunakan untuk memilih 76 anggota yg mewakili propinsi yg dipilih dari 10 kandidat yg lolos dlm pemilihan tingkat propinsi, sedangkan kedua untuk menyeleksi 23 dari kalangan ahli yg dipilih Majlis nasional , dari 45 kandidat dg keahlian Politik, Hukum, & Administrasi Negara  masing-masing 15, dan dipilih 8, 8, 7, untuk duduk dlm Majlis Perancang Konstitusi.
   Legitimasi Proses
  Keuanggulan komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya” dan “penjagaan jarak dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan yg baik dihasilkan dari dalamnya pemahaman anggota komisi thd masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan berkompromi akan mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan mengasilkan terlalu banyak alternatif konstitusi.
KEPENTINGAN KOMISI AHLI
  Komisi ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga Perwakilan, karena cenderung jauh dari kepentingan kelompok & lembaga, sebab bebas  dari afiliasi politik. Independensi komisi dari kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai lembaga ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang akan diganti/diubah yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu diberlakukan.
  Tentang adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981) mengatakan bahwa, efek berkurangnya kepentingan-2 politik kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti ada. Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat. Carl J. Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah konstitusi adalah sebuah proses yg inheren memang politis sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi sebuah komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama mereka tentang masalah konstitusi.
  Pengalaman Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg cara mensyaratkan agar semua kandidat yg melamar jadi anggota Majlis Perancang Konstitusi

   Legitimasi Proses
  Keuanggulan komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya” dan “penjagaan jarak dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan yg baik dihasilkan dari dalamnya pemahaman anggota komisi thd masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan berkompromi akan mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan mengasilkan terlalu banyak alternatif konstitusi.
KEPENTINGAN KOMISI AHLI
  Komisi ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga Perwakilan, karena cenderung jauh dari kepentingan kelompok & lembaga, sebab bebas  dari afiliasi politik. Independensi komisi dari kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai lembaga ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang akan diganti/diubah yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu diberlakukan.
  Tentang adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981) mengatakan bahwa, efek berkurangnya kepentingan-2 politik kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti ada. Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat. Carl J. Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah konstitusi adalah sebuah proses yg inheren memang politis sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi sebuah komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama mereka tentang masalah konstitusi.
  Pengalaman Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg cara mensyaratkan agar semua kandidat yg melamar jadi anggota Majlis Perancang Konstitusi
   harus bebas dari afiliasi politik apapun. Kenyataannya syarat tsb bukanlah jaminan bahwa anggota Majlis ini tidak akan terpengaruh oleh partai politik, sebab Majlis nasional yg terdiri dari partai politik pasti akan ikut campur, setidaknya akan memilih orang-orang yg mau menuliskan konstitusi yg paling pas dengan kepentingan partai mereka. Menurut Andrew Harding (Denny Indrayana, 2007:102) proses seleksi ini memang dpt mengurangi godaan kepentingan politik, terbukti Majlis ini menerapkan pendekatan “zero tolerance” dalam soal tujuan-tujuan konstitusi yang mendasar, sehingga Draft yg dihasilkan bisa tetap berisi sejumlah pembatasan dan pemeriksaan yg intens thd pemerintah, yg berusaha mempengaruhi politisi di Majlis Nasional. Sehingga majlis inipun menyetujuinya dengan rasa enggan.
   Legitimasi Hilir
  Draft konstitusi yg dibuat suatu komisi tdk bisa langsung berlaku, karena harus diserahkan kpd Lembaga pembuat hukum ttt, apakah legislatif atau referendum rakyat. Berbeda dg yg dirancang oleh legis layur biasa, maka bsa disahkan sendiri. Jadi Komisi ini hanya alat bantu dan “kerja utamanya, meneliti, meng identifikasi persoalan yg ada, dan mendidik masyara kat”. Maka caranya untukmengatasi masalah legitimasi hilir adalah memaksimalkan partisipasi masyarakat, sehingga apabila bisa dikelola dg baik akan menghasilkan sikap penerimaan yg baik thd draft konstitusi oleh rakyat, maka akan tercipta tekanan publik thd parlemen untuk menerima draft itu.
  Di Thailand partisipasi publik sangat luas, disamping prosedur pengesahannya menyebutkan: Parlemen hanya punya kewenangan untuk menyetujui atau menolak draft. Parlemen tidak berhak mengamandemen. Jika menolak, sebuah referendum publik digelar. Nyatanya tidak perlu digelar, hal ini sebagai hasil keterlibatan publik, dan rakyat merasa “memiliki” dokumen itu (Kevin Y.L.Tan, 2002:38). Terbukti, yg sebenarnya parlemen enggan menerima, akhirnya bisa menerima, itu membuktikan hasil tekanan publik dr pd sikap sukarela. Prudhisan Jumbala (1998: 265) berpendapat bahwa penolakan draft akan memicu krisis ekonomi dan politik lebih jauh bahkan menyeret negara dlm instabilitas. Sedangkan Andrew Harding (2001:239) menengarai adanya ancaman kudeta militer yang menghantui persetujuan itu.
  KESIMPULAN: Tentang komisi ahli ini mengisyaratkan bahwa jika syarat legitimasi hulu sebuah komisi ahli bisa diatasi, dengan seleksi yang demokratis, maka legitimasi prosesnya akan meningkat, dan komisi yang bersangkutan berpeluang bagus menyelesaikan pekerjaannya dg bebas dr kepentingan kelompok dan lembaga. Peluang hasil konstitusi demokratis bertambah apabila prosesnya melibatkan publik yg luas, sehingga meningkatkan legitimasi hilir
  B.PARLEMEN BIASA
  1.Prinsip Keluwesan: McWhinney berpendapat memilih parlemen biasa sebagai lembaga pembuat konstitusi di dasarkan prinsip keluwesan, berdasar Revolusi Perancis (1981:29). Dengan catatan, bisa efektif apabila konstitusinya sudah berjalan dan perubahan itu tdk termasuk merestrukturisasi sistem negara secara radikal, sehingga tidak perlu majlis konstituante, karena mag=hal dan banyak waktu. Persoalannya adalah, parlemen biasa itu tdk bisa fokus karena juga berkewajiban thd tugasnya sebagai parlemen biasa, sehingga tidak menjadi prioritas dan bahkan muncul konflik kelembagaan dan diwarnai dg ketidakluwesan (Denny Indrayana, 2007: 105).
  2.Masalah independensi, merupakan titik terlemah dr lembaga parlemen biasa, karena tidak mudah mensterilkan dr kepentingan para anggotanya yg beragam, terutama kepentingan partai politik, bahkan kepentingan kelompok.
  3. Masalah kepentingan lembaga, juga akan sangat mempengaruhi. Bgmn bisa obyektif, kalau lembaga yg membuat akan menempatkan lembaganya sendiri pd tempat yg lebih rendah dari yang semula, minimal dlm kewenangannya. Menurut John Elster (1998:380): lembaga pembuat konstitusi yg juga sbg parlemen biasa akan menimbulkan 3 implikasi, sebagaimana di Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet:
  Pertama, Parlemen akan memberikan kekuasaan yg lebih besar kepada cabang-cabang lebigslatif seraya mengorbankan eksekutif & yudikatif.
  Kedua, parlemen satu kamar dan dua kamar akan cenderung membuat masing-2 konstitusi satu kamar dan dua kamar. Bulgaria, Slovakia, & Hungaria yg parlemen satu kamar membuat konstitusi satu kamar. Demikian juga Rumania dan Polandia yg 2 kamar buat 2kamar juga.
  Ketiga, Parlemen sering memberi dirinya kekuasaan yg lebih besar untuk mengubah konstitusinya. Misalnya, secara kelembagaan badan ini tidak berkepentingan untuk merekomendasikan bahwa sejumlah amandemen konstitusi diserahkan pada referendum
  Pengalaman Afrika Selatan yang membuat draft konstitusi bisa sukses. Hal ini terjadi karena Parlemen itu bukan lembaga legislatif “biasa”, karena : 1. Pemilu th 1994 yg demokratis memberi legitimasi hulu yg kuat bagi legislaturnya. 2. Tanggungjawab khusus legis latur ini sebagai sebuah Majlis Konstitusi berdasarkan pada Konstitusi Sementara. 3. Adanya dukungan dr kalangan Ahli. 4. Adanya keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam mengesahkan draft Konstitusi. 5. Luasnya partisipasi publik.
  Kesmpulannya: Parlemen punya peluang lebih baik untuk mendapatkan legitimasi hulu yg kuat dr pd komisi ahli, tetapi parlemen rentan sifatnya, karena bisa direcoki kepentingan partai politik dan kepenti ngan parlemen sendiri. Di Afrika Selatan, kerentanan itu bisa diatasi dg keterlibatan Mahkamah Konstitusi & partisipasi publik. 

PENTINGNYA PARTISIPASI MASYARAKAT
  Commonwealth Human Rights Initiative dalam reko mendasinya kpd Commonwealth Heads of Govern ment meeting tahun 1999, menetapkan 11 prinsip pem buatan konstitusi yang berkaitan dg partisipasi publik:
  1. Legitimasi, 2. Inklusivitas, 3. Masyarakat sipil, 4. Ke terbukaan & transparansi, 5. Aksesibilitas, 6. Pengkaji an yang berkesinambungan, 7. Akuntabilitas, 8. Pen tingnya Proses, 9. Peran partai Politik, 10. Peran Masya rakat Sipil, 11. Peran para Pakar.
  Aktif & Inklusif: Konsultasi publik harus berbentuk kontribusi yg aktif & inklusif. Kontribusi aktif terben tuk karena adanya konsultasi publik, sebelum aspek-2 konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif.
  Untuk menumbuhkan partisipasi publik yg inklusif, diperlukan strategi untuk mengatasi dominasi kelompok tertentu & untuk merangsang partisipasi kelompok lain yg bungkam. Tetapi isu-2 penting konstitusi jarang diminati masyarakat luas. Oleh krn itu sebisa mungkin yang dipahami masyarakat luas & segala jenis media (TV, Cetak, dan Radio) harus diman faatkan, karena di masyarakat mungkin berbeda media yg dimanfaatkan.
  Di Afrika Selatan, Surat Kabar, TV, & Radio dg tajuk Constitutional Talk, disamping satu Hot Line telpon & satu situs internet. Ribuan rapat umum digelar terbuka di seluruh wilayah. Pertemuan sektoral dg 200 organisasi mewakili sejumlah kelompok kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar