Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Penulis : m abdu t./ rumasyo.com cuplikan dari buku panduan ramadhan
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat
hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun
keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[1] agar tidak menyelisi
mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat
Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena
itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya
menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah
berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari
raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan
pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh
mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama
masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa
kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[2] Ketika menyebutkan
hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian
ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya
hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan
mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir
ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[3] Pendapat inilah pendapat yang
kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu
diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di
langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah
manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur
(artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang
namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang
banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak
nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka
semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun
batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak
disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau
dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada
yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum
ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada
orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut
hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita
kepada orang banyak.”[4]
Beliau rahimahullah mengatakan
pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai
tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar
nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika
tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal
bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha-
dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala
berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal
(bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[5]
Ibnu Taimiyah
kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal
bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak
bagi mereka.
. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun
persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan
orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10
orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi
tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan
tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu
pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya.
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa
kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah
bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri
kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau
mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimiin
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya
ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga
berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal
sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari
para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan:
"Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari
raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan
hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied)
atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial
ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan,
ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam
ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat
untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para
ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa
berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan
tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak
hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan
teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir
Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat
kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain.
Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah
dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil
yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena
itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat
tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al
Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal
(bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan
pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya
perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini
masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih
terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak
mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam
ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda
wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu
pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri
tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama
di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan
kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi muhammad saw
semoga pelajaran dari ramadhan mampu menempa kita menempuh 11 bulan selanjutnya.. silakan berkunjung di http://tagayanhijau.blogspot.com
BalasHapus